REMUNERASI
PENDAHULUAN
Pengertian Remunerasi
Remunerasi adalah total kompensasi yang diterima
oleh pegawai sebagai imbalan dari jasa yang telah dikerjakannya. Biasanya
bentuk remunerasi diasosiasikan dengan penghargaan dalam bentuk uang (monetary
rewards), atau dapat diartikan juga sebagai upah atau gaji.
Remunerasi mengandung dua unsur, yaitu kompensasi dan komisi (bonus).
Maksud dan Tujuan
Kebijakan Remunerasi
Para aparatur negara adalah bagian dari pemerintahan.
Maka dalam konteks reformasi birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk
menata dan meningkatkan kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan
yang sangat elementer, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi
perubahan kultur pegawai (reformasi bidang kultural). Sehingga dengan struktur
gaji yang baru (nanti), setiap pegawai diharapkan akan mempunyai daya tangkal
(imunitas) yang maksimal terhadap rayuan atau iming-iming materi (kolusi).
Siapa saja yang
Mendapatkan Remunerasi?
Sesuai dengan Undang-undang no. 17 tahun 2007,
tentang Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan
Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum reformasi
birokrasi. Kebijakan remunerasi diperuntukan bagi seluruh pegawai negeri di
seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan
berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :
1.
Prioritas
pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan
Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban
Aparatur Negara.
2.
Prioritas kedua
adalah Kementrian/lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi,
sumber penghasil penerimaan negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat
secara langsung termasuk Pemda.
3.
Prioritas ketiga
adalah seluruh kementrian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan
kedua.
Landasan Hukum
Kebijakan Remunerasi
a.
UU No 28/1999
tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
b.
UU No.43/1999
tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Yang salah
satu substansinya menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji
yang adil & layak sesuai dengan beban pekerjaan & tanggung jawabnya. (
Psl 7, UU No.43/1999)
c.
Undang-undang
No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang
2005-2025. Khususnya pada Bab IV butir 1.2, huruf E. Yang menyatakan bahwa :
“Pembangunan Aparatur Negara dilakukan melalui Reformasi birokrasi untuk
meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yanq baik.
Di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan
dibidang bidang lainnya. “.
d.
Perpres
No.7/2005, tentang Rencana pembangunan jangka menengah Nasional.
e.
Konvensi ILO No.
100;, Diratifikasi pd th 1999, bunyinya ‘Equal remuneration for jobs of equal
value’. (Pekerjaan yang sama nilai atau bobotnya harus mendapat imbalan yang
sama)
Prinsip Dasar
Kebijakan Remunerasi
Prinsip dasar kebijakan remunerasi adalah adil dan
proporsional. Artinya kalau kebijakan masa laiu menerapkan pola sama rata
(generalisir), sehingga dikenal adanya istilan PGPS (pinter goblok penghasilan
sama). Maka dengan kebijakan remunerasi, besar penghasilan (reward) yang
diterima oleh seorang pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga
jabatan yang disandangnya.
CONTOH KASUS :
REMUNERASI TAK
CEGAH KORUPSI
Kamis, 11 April 2013, 01:30 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menduga Pargono Riyadi, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, memeras wajib pajak Asep
Hendro. Kasus ini memunculkan anggapan sistem remunerasi untuk pegawai pajak
tidak efektif mencegah perilaku korup.
Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasih mengatakan, godaan terhadap petugas yang terkait langsung dengan penerimaan negara, seperti perpajakan, memang sangat tinggi. Sistem remunerasi atau tunjangan kinerja diberikan agar pegawai pajak menghindari sifat korup. “Remunerasi ini tidak ampuh,” kata dia, kepada Republika, Rabu (10/4).
Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasih mengatakan, godaan terhadap petugas yang terkait langsung dengan penerimaan negara, seperti perpajakan, memang sangat tinggi. Sistem remunerasi atau tunjangan kinerja diberikan agar pegawai pajak menghindari sifat korup. “Remunerasi ini tidak ampuh,” kata dia, kepada Republika, Rabu (10/4).
Dia pun berkesimpulan, masih adanya pegawai pajak
yang memeras atau menerima pemberian ini menunjukkan persoalan bukan pada tidak
terpenuhinya kebutuhan, tapi masalah mental. Dia menerangkan, persoalan mental
ini menjadi persoalan yang sulit ditemukan solusinya.
Perbaikan kesejahteraan dalam bentuk lainnya
dipastikan tidak bakal memperbaiki mental tersebut. “Diberikan Gaji berapa pun,
rasanya masih akan ada aparat yang mencoba merongrong penerimaan negara,"
ujar Achsanul. Menurut anggota Fraksi Partai Demokrat ini, saat ini sebenarnya
ada banyak pegawai pajak yang baik dan memiliki dedikasi terhadap negara. Tapi,
peristiwa ini mengingatkan Ditjen Pajak perlu melakukan perbaikan secara
terus-menerus.
Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo
mengatakan tidak sepakat dengan penilaian itu. Menurut dia, banyaknya
penangkapan menunjukkan sistem pencegahan korupsi di institusinya berjalan
dengan baik. “Jadi, kami mohon KPK terus menindak. Saya juga minta Dirjen Pajak
untuk menindaklanjuti sisi administratif dan Irjen Kemenkeu juga menindaklanjuti
hal ini," kata Agus.
KPK menangkap Pargono ketika menerima uang Rp 25
juta dari Rukimin Tjahyono alias Andreas di Stasion Gambir, Jakarta Pusat,
Selasa (9/4). Dari hasil pemeriksaan, juru bicara KPK Johan Budi mengatakan,
Pargono diduga menyalahgunakan wewenang dan memaksa Asep Hendro untuk
menyerahkan sejumlah uang.
Kepada Asep, Pargono menyatakan pajak pribadi dan
perusahaannya, yaitu Asep Hendro Racing Sport (AHRS), bermasalah. Untuk
menyelesaikannya, Asep harus menyerahkan uang Rp 125 juta. Asep menyerahkan
uang melalui Rukimin sebagai perantara.
Pargono disangkakan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 421 KUHP. Ancaman pasal ini, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Pargono disangkakan Pasal 12 huruf e atau Pasal 23 UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 421 KUHP. Ancaman pasal ini, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan
Masyarakat Ditjen Pajak, Kemenkeu, Kismantoro Petrus mengatakan, proses
penangkapan Pargono dan Andreas serta Asep merupakan hasil koordinasi dan kerja
sama antara KPK dan Ditjen Pajak. Terkait nasib pargono, Kismantoro menyatakan,
dia dibebaskan sementara dari jabatannya sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak
Madya di Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat sejak menjadi terperiksa di KPK.
Apabila bersalah, dia akan diberhentikan dengan
tidak hormat. Sampai Rabu (10/4) malam, KPK hanya menetapkan Pargono sebagai
tersangka pemerasan. Sedangkan Asep Hendro bersama tiga orang lainnya
dibebaskan dari sangkaan. N Muhammad Akbar Wijaya/ Muhamamad Iqbal/ Bilal
Ramadhan Ed: Ratna Puspita
KESIMPULAN
Dari contoh kasus remunerasi di atas, dapat diambil
kesimpulan sistem remunerasi untuk pegawai pajak tidak efektif mencegah
perilaku korupsi. Karena godaan terhadap petugas yang terkait langsung dengan
penerimaan negara, seperti perpajakan, memang sangat tinggi.
Akan lebih baik jika pemerintah perlu
mempertimbangkan besarnya jumlah remunerasi untuk PNS yang sesuai dengan
efisiensi dan profesionalitas masing-masing pegawai.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar