KORUPSI dan UPAYA MENGATASINYA
I. Abstrak
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini
makin marak dipublikasikan di media massa maupun media cetak. Tindak korupsi
ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya
dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang
malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti
melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang
korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
II. Pendahuluan
Di era reformasi
sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem politik,
reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri
ini. Yang paling sering dibicarakan adalah masalah reformasi birokrasi yang
menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat
dengan nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat
menghilangkan budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling
sering terjadi di dalam instansi pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada
umumnya diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan
kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah
dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah
tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah
mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada
kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji
para pegawai pemerintah dapat dinilai tinggi.
Korupsi dari yang
bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah
terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga
triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan
kenegaraan yang semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi
tersebut benar-benar dipakai untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan
kemiskinan dan meningkatkan kualitas pendidikan, mungkin cita-cita tersebut
bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke tangan yang berhak dan
tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Seperti yang telah
dijelaskan di atas, pengkajian ulang remunerasi pegawai yang meningkatkan
jumlah gaji mereka terbukti tidak menurunkan tingkat korupsi seperti yang
diharapkan. Salah satu hal yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya moral
dan kesadaran masyarakat mengenai korupsi itu sendiri. Masyarakat menganggap
korupsi sebagai suatu hal yang biasa sebab tanpa disadari, kita sudah terbiasa
melakukan korupsi. Misalnya saja dalam penyediaan alat tulis kantor, pegawai
terbiasa mengambil uang yang tersisa dari dana yang disediakan. Padahal
sesungguhnya dana tersebut harus dikembalikan pada organisasi. Akibat adanya
kebiasaan korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat sulit
dilakukan. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara mengubah
kebiasaan masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa korupsi ini
adalah suatu hal yang salah.
Cara ini mulai
dilakukan oleh pemerintah melalui sekolah-sekolah dengan menerapkan sistem
kantin kejujuran. Kantin kejujuran adalah sebuah sistem kantin dimana
murid-murid mengambil sendiri barang apa yang ia inginkan. Sekilas sistem ini
terlihat seperti suatu sistem yang biasa dilakukan di supermarket dimana
konsumen melayani dirinya sendiri. Namun di kantin kejujuran, murid bukan hanya
harus melayani dirinya sendiri tapi juga harus membayar serta mengambil
kembalian sendiri tanpa adanya orang yang mengawasai, sehingga hal ini
merupakan solusi untuk mempersiapkan masyarakat yang menjunjung tinggi
kejujuran. Dengan kata lain, sistem kantin ini berbeda dari kantin-kantin yang
ada umumnya karena di sini tidak terdapat penjual. Sistem kantin kejujuran ini
dapat merangsang kejujuran murid karena ia akan belajar menjadi orang yang
berusaha menjaga amanat yang diberikan oleh orang lain kepada dirinya. Di
samping itu, kantin kejujuran juga memberikan kontribusi dalam mencerdaskan
murid khususnya untuk perhitungan matematis. Kantin kejujuran merupakan upaya
preventif dalam menangkal terjadinya tindak korupsi.
III. Landasan Teori
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde
Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan
dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh
Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang
Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek,
modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan
pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia
semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial,
kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis
multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut
antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi
& Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.
Seorang sosiolog Malaysia
Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu
sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan
nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Mengutip Robert
Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua,
yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture).
Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan
subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap
sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu
dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya
tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
Inti ketiga bentuk
korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah
tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas,
dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap
masyarakat.
Istilah korupsi
dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan
tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator
yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para
investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan,
martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi
dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
IV. Pembahasan
A. Teori Korupsi
Korupsi
berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968)
adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima
oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan
pribadi, merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dengan merujuk definisi
Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan
korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.
B.
Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab adanya
tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara
umum dapatlah dirumuskan, sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/golongannya
sendiri. Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan korupsi antara lain yaitu :
1.
Ketiadaan atau
kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan
mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2.
Kelemahan
pengajaran-pengajaran agama dan etika.
3.
Kolonialisme, suatu
pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan
untuk membendung korupsi.
4.
Kurangnya
pendidikan.
5.
Adanya banyak
kemiskinan.
6.
Tidak adanya
tindakan hukum yang tegas.
7.
Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
8.
Struktur
pemerintahan.
9.
Perubahan radikal,
suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai
penyakit transisional.
10. Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau
sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi meliputi :
a.
Greeds(keserakahan)
: berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam
diri setiap orang.
b.
Opportunities(kesempatan)
: berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang
sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
c.
Needs(kebutuhan) :
berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk
menunjang hidupnya yang wajar.
d.
Exposures(pengungkapan)
: berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku
kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab
seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri
sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan
dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga indikasi yang
menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1.
Pendapatan atau
gaji yang tidak mencukupi.
2.
Penyalahgunaan
kesempatan untuk memperkaya diri.
3.
Penyalahgunaan
kekuasaan untuk memperkaya diri.
Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed Hussein Alatas,
disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
a.
Korupsi senantiasa
melibatkan lebih dari satu orang.
b.
Korupsi pada
umumnya melibatkan keserbarahasiaan.
c.
Korupsi melibatkan
elemen kewajiban dan keuntungann timbale balik.
d.
Berusaha
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik perlindungan hukum.
e.
Mereka yang
terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas
dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f.
Setiap tindakan
korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
g.
Setiap bentuk korupsi
adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
h.
Setiap bentuk
korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
i.
Perbuatan korupsi
melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
C.
Macam-Macam Korupsi
Korupsi telah
didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut
dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
1.
Korupsi yang terkait
dengan merugikan keuangan Negara
2.
Korupsi yang
terkait dengan suap-menyuap
3.
Korupsi yang
terkait dengan penggelapan dalam jabatan
4.
Korupsi yang
terkait dengan pemerasan
5.
Korupsi yang
terkait dengan perbuatan curang
6.
Korupsi yang
terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7.
Korupsi yang
terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra
dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga
macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu :
a)
Model korupsi lapis
pertama
Berada dalam bentuk
suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang
membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan
kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa
untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik
lainnya.
b)
Model korupsi lapis
kedua
Jaring-jaring
korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan
perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada
korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara
beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level
nasional.
c)
Model korupsi lapis
ketiga
Korupsi dalam model
ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak
hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga
internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai
mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota
jaring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
D.
Cara Pencegahan Dan
Strategi Pemberantasan Korupsi
Menurut Baharuddin
Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk
menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan
pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya
peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak
yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang
sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat
didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
-
Pendekatan pada
posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi
-
Pendekatan pada posisi
perbuatan korupsi terjadi
-
Pendekatan pada
posisi setelah perbuatan korupsi terjadi
Dari tiga
pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu :
a.
Strategi Preventif
Strategi ini harus
dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab
timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu
dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya
ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu
mencegah adanya korupsi.
b.
Strategi Deduktif
Strategi ini harus
dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan
korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat
ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang
harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai
aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan
korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu
hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
c.
Strategi Represif
Strategi ini harus
dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum
yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji
untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan
tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan
sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan
para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran
dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara
represif antara lain :
1.
Konsep “carrot and
stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya
sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto
pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai
pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat
hidup layak bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick
adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka
hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk
melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2.
Gerakan “Masyarakat
Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya
tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti
korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu
bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya
koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan
korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja
tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat
ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral
agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3.
Gerakan
“Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki
komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang
status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur
structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
4.
Gerakan “Moral”
yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan
besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan
moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat
menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
5.
Gerakan
“Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan
agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang
sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang
melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah
terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi
berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.
E.
Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi
Upaya
yang dapat dilakukan dengan langkah-langkah :
a.
Pemberlakuan berbagai UU yang mempersempit
peluang korupsi
b.
Pembentukan berbagai lembaga yang
diperlukan untuk mencegah korupsi
c.
Pelaksanaan sistem rekruitmen aparat secara
adil dan terbuka
d.
Peningkatan kualitas kerja berbagai lembaga
independen masyarakat untuk memantau kinerja para penyelenggara negara
e.
Pemberian gaji dan kesejahteraan pegawai
yang memadai
Cara
yang kedua yang ditempuh untuk menindak lanjuti korupsi adalah :
1.
Pemberian hukum secara sosial dalam bentuk
isolasi kepada para koruptor
2.
Penndakan secara tegas dan konsisten
terhadap setiap aparat hukum yang bersikap tidak tegas dan meloloskan koruptor
dari jerat hukum
3.
Penindakan secara tegas tanpa diskriminasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap para pelaku
korupsi
4.
Memberikan tekanan langsung kepada
pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum untuk segera memproses secara
hukum para pelaku korupsi
V. Kesimpulan
Korupsi
merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan
berbagai macam modus. Dan faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan
individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde
Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya.
Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam
memberantas tindak korupsi di Indonesia, antara lain :upaya pencegahan
(preventif), upaya penindakan (kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan
upaya edukasi LSM (Lembaga Swada-ya Masyarakat).
VI. Daftar Pustaka
Drehel, Axel and Christos Kotsogiannis, Corruption
Around the World: Evidence from a Structural Mode. 2004
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: PT. Gramedia. 1985
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode
Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2005.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode
Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. 1985
W. Creswell, John. Research Design: Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches. London: Sage Publiation, Inc.1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar